coba apresiasi lagu Broery Marantika dan Dewi Yull dalam sebuah tulisan.
Beberapa bulan kemarin, saya sedang menuju kantor dan sedang menikmati kemacaten jakarta dengan mendengarkan saluran radio GEN FM dengan acara “salah sambung”-nya yang merupakan acara paling populer dijakarta, dengan pembawa acara kondang juga, Kemal dan TJ. karena macetnya jakarta, saya juga bolak-balik mencari siaran lain sebelum acaranya dimulai, ketika itu sedang dalam program acara bolak balik radio ini, yang tentunya berusaha menghindari acara program berita politik. Tiba-tiba disalah satu saluran ada iklan bahwa ada sebuah sekolah pendidikan anak usia dini yang mendidik anak-anak mempu melakukan debat. Sampai disitu saya masih sangat apresiasi, karena hal ini merupakan budaya yang bagus, sehingga sang anak akan dididik mampu memberikan argumen dan mengasah otak dalam keadaan apapun, serta terciptanya pikiran yang merdeka.
Tidak sampai disitu saja, kemudian didalam iklan dikatakan, bahwa pendidikan ini disiapkan untuk memampukan anak menjadi seorang politikus senayan…. Hmmmmmmmmmm…. Saya berguman dalam hati, memang jabatan politikus di negara ini merupakan jabatan yang sangat prestisius, tapi, bukannya salah mendidik anak membuka pikiran seluas-luasnya dan semerdeka mungkin, tetapi jika proses ini digunakan dengan mengunci dia “hanya menjadi politikus” senayan, bukankah hal yang kurang bijak memasukkan anak untuk dididik disana? Kenapa anak yang masa depannya terbentang luas didepan disiapkan menjadi anggota senayan? Memang benar juga sih, jabatan politikus senayan untuk saat ini dan di negara ini, adalah jabatan yang sangat prestisius. Tapi akankah ini bertahan selamanya? Ataukan ada saatnya jabatan ini akan musnah terkait dengan kurang “Jantannya” para politikus kita sekarang?
Trend berita di Indonesia belakangan ini memang tidak jauh dari dunia politik. Hampir semua kalangan selalu membicarakan politik. Setiap kita membaca berita di media surat kabar dan online, selalu tidak jauh dari politik, sementara jika kita menonton televisi, hampir semuanya membahas politik.
Artis, Pengusaha, Lawyer, bahkan pensiunan lembaga-lembaga tinggi negara seperti TNI POLRI dan lembaga tinggi negara lainnya, berlomba-lomba menjadi politikus, seolah-olah seakan-akan sekonyong-konyong bahwa jabatan politik sebagai anggota Dewan atau anggota Parpol tertentu merupakan sesuatu yang sangat prestius dan luar biasa. Padahal kalau kita saksikan, banyak politikus yang melakukan korupsi dan porsinya mungkin jauh dibawah korupsi orang lain. Tetapi tekanan pastilah cukup tinggi kepada meraka. Lalu muncul pertanyaan, kenapa sih orang-orang masih mau menjadi politikus?
Memang benar bahwa ada era untuk setiap jabatan atau pekerjaan, pada zaman dulu pekerjaan seperti ilmuwan, pencipta musik klasik, filosofi dan jabatan lain sudah melewati masanya, dan sekarang orang-orang yang menggeluti kegitan tersebut adalah memang orang-orang yang tidak melihat hanya dari sisi sosialnya saja, dan beberapa orang ada juga yang menumpang tenar di pekerjaan ini, untuk mencari kursi di senayan atau pemerintahan, itulah trend terbaru di negara kita. Tetapi kita semua berharap, bahwa suatu waktu, indonesia tidak hanya dibumbui politik lagi. Apalagi yang terbaru dan paling miris, bahkan olahraga paling prestisius yaitu sepak bola yang bernaung dibawah PSSI, ikut juga dipolitisasi. Mau dibawa kemana bambang pamungkas, boaz salosa cs? Dan mungkin alfred riedel ketika pulang kenegaranya selesai melatih Timnas akan berkata, “Saya harus belajar Politik, agar saya mampu berhasil melatih Timnas Indonesia, dan para politikus yang mencampur adukkan sepakbola dan politik tidak perlu ikut mengintervensi tim saya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar