TARUTUNG - Sejak awal rencana hingga penetapan pembangunan rehabilitasi kantor bupati unit A di Jalan Suprapto Tarutung yang menelan anggaran Rp18 miliar lebih, hingga kini banyak menuai kritikan dan sorotan dari berbagai elemen masyarakat.
Sebab, rehabilitasi kantor sebesar itu terkesan dipaksakan tanpa memperhitungkan prospek ke depan. Belum lagi melihat keterbatasan keuangan Pemkab Taput dan banyaknya infrastruktur yang menjadi skala prioritas untuk dibangun demi kesejahteraan masyarakat.
“Sangat disayangkan, karena biaya untuk merubuhkan gedung sekarang ini akan menghabiskan dana miliar rupiah. Kalau dana itu digunakan untuk membangun irigasi di masyarakat, ratusan lahan sawah yang kering sudah dapat diolah,” ujar seorang warga Tarutung, Harapan S, pagi ini.
Menurutnya, dapat dilihat kondisi fisik bangunan kantor bupati Taput sekarang ini masih layak pakai sebagai perkantoran dan belum kalah dibandingkan dengan kantor bupati di beberapa kabupaten di Sumut.
“Dana sebesar Rp18 miliar sangat tidak etis hanya untuk biaya rehab. Sebaiknya dilaksanakan pembangunan kantor baru dengan lokasi yang strategis demi akses dan prospek pengembangan kota.
Rehab itu, kata dia, sebaiknya dipending dan dananya dialihkan kepada pembangunan skala prioritas yang menyentuh kehidupan masyarakat. Sebab masyarakat Taput masih yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Berbeda dengan apa yang dilontarkan anggota DPRD Taput, David Hutabarat. Sebaiknya pembangunan rehab kantor bupati Taput dipending. Sebab, kondisi lahan kantor bupati tidak mengizinkan untuk fasilitas 30 tahun kedepan.
“Kalau mau jujur membangun, sebaiknya dana sebesar itu sudah dapat digunakan untuk pengadaan lahan perkantoran dan cukup untuk biaya pembangunan kantor bupati baru. Sehingga prospek ke depannya lebih realita yang diikutsertakan dengan pengembangan perkotaan/wilayah,” kata dia.
Kata David, tidak ada alasan bupati dengan dalih mempertahankan historis, kalau rakyatnya tertinggal. Dia mencontohkan, untuk tahun 2011 Kabupaten Dairi, misalnya sudah memindahkan kantor bupati ke Sitinjo, dengan bangunan baru seluas lima hektar diganti rugi.
Bupati Taput diminta agar lebih arif dan bijaksana. Sebab, kalau rehab kantor itu tetap dipaksakan di tempat yang sama akan membuat pengembangan ibu kota berjalan di tempat. Masyarakat juga bisa hidup dalam ril yang lama.
Kepala Bappeda Taput, Parsaoran Hutagalung saat dikonfirmasi sekaitan rencana rehab kantor bupati tersebut tidak banyak berkomentar. “Tanyakan saja kepada Kadis Cipta Karya,” pungkasnya.
Editor: SASTROY BANGUN
Sebab, rehabilitasi kantor sebesar itu terkesan dipaksakan tanpa memperhitungkan prospek ke depan. Belum lagi melihat keterbatasan keuangan Pemkab Taput dan banyaknya infrastruktur yang menjadi skala prioritas untuk dibangun demi kesejahteraan masyarakat.
“Sangat disayangkan, karena biaya untuk merubuhkan gedung sekarang ini akan menghabiskan dana miliar rupiah. Kalau dana itu digunakan untuk membangun irigasi di masyarakat, ratusan lahan sawah yang kering sudah dapat diolah,” ujar seorang warga Tarutung, Harapan S, pagi ini.
Menurutnya, dapat dilihat kondisi fisik bangunan kantor bupati Taput sekarang ini masih layak pakai sebagai perkantoran dan belum kalah dibandingkan dengan kantor bupati di beberapa kabupaten di Sumut.
“Dana sebesar Rp18 miliar sangat tidak etis hanya untuk biaya rehab. Sebaiknya dilaksanakan pembangunan kantor baru dengan lokasi yang strategis demi akses dan prospek pengembangan kota.
Rehab itu, kata dia, sebaiknya dipending dan dananya dialihkan kepada pembangunan skala prioritas yang menyentuh kehidupan masyarakat. Sebab masyarakat Taput masih yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Berbeda dengan apa yang dilontarkan anggota DPRD Taput, David Hutabarat. Sebaiknya pembangunan rehab kantor bupati Taput dipending. Sebab, kondisi lahan kantor bupati tidak mengizinkan untuk fasilitas 30 tahun kedepan.
“Kalau mau jujur membangun, sebaiknya dana sebesar itu sudah dapat digunakan untuk pengadaan lahan perkantoran dan cukup untuk biaya pembangunan kantor bupati baru. Sehingga prospek ke depannya lebih realita yang diikutsertakan dengan pengembangan perkotaan/wilayah,” kata dia.
Kata David, tidak ada alasan bupati dengan dalih mempertahankan historis, kalau rakyatnya tertinggal. Dia mencontohkan, untuk tahun 2011 Kabupaten Dairi, misalnya sudah memindahkan kantor bupati ke Sitinjo, dengan bangunan baru seluas lima hektar diganti rugi.
Bupati Taput diminta agar lebih arif dan bijaksana. Sebab, kalau rehab kantor itu tetap dipaksakan di tempat yang sama akan membuat pengembangan ibu kota berjalan di tempat. Masyarakat juga bisa hidup dalam ril yang lama.
Kepala Bappeda Taput, Parsaoran Hutagalung saat dikonfirmasi sekaitan rencana rehab kantor bupati tersebut tidak banyak berkomentar. “Tanyakan saja kepada Kadis Cipta Karya,” pungkasnya.
Editor: SASTROY BANGUN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar